Perang Siasat Politik Antara Sultan Zainal Abidin lawan Kolonial Belanda

MEDIA CENTER ROHUL- Teks kolonial paling awal mencatat tentang Sultan Zainal Abidin ada dalam “Beschrijving Eeener Reis van Bengkalis Langs de Rokan-Rivier Naar Rantau Binoeang” oleh J. A. Van Rijn van Alkemade, dalam ekspedisi kujungan seharinya untuk memastikan lokasi kerajaan Tambusai yang saat itu berdiri di Sungai Rokan, pada 16 Agustus 1883 (bukan 1884).

Alkemade perlu menyisipkan isu perang Padri dengan mengatakan raja Tambusai, Rambah, dan Kepenuhan dibenci oleh Fakih Saleh (Tuanku Tambusai), menyebabkan ada diantara tiga raja itu harus menyingkir sampai ke Linggi, Malaka. Tidak berapa lama, raja Rambah dan Kepenuhan segera kembali ke kerajaannya, meski Sultan Akhir Zaman memilih mastautin di Sungai Kerangin Panai, dan wafat disitu. Puteranya Sultan Jamalul ‘Alam menetap di Sungai Daun wilayah Kubu, hingga beliau wafat. Penggantinya Sultan ‘Abdul Wahid, menetap dan wafat di Rantau Binuang. Sultan Muhammad Zain telah di atas tahta Rantau Binuang pada hari Alkemade singgah tersebut.   

Alkemade menolak memaparkan asal usul sejarah hak Tambusai boleh mendirikan kerajaan di Rantau Binuang. Juga tidak perlu membahas perselisihan Siak dengan Tambusai soal batas wilayah di hilir Sungai Rokan. Poin penting Alkemade untuk pemerintah kolonial adalah; Raja Tambusai ‘terusir’ oleh Fakih Saleh dan wilayah kedaulatannya mansuh. Alasan ini dikuatkan dengan menyatakan posisi Tengku Maharaja, paman (saudara ibu) Muhammad Zain yang menjadi penguasa di Daludalu saat itu.

Alkemade pura-pura heran melihat Rantau Binuang jadi pusat kerajaan Tambusai, sehingga perlu mengarang pertanyaan; “mengapa raja Tambusai tidak pernah berkeinginan kembali ke Negeri Lama di Daludalu, seperti pulangnya raja Rambah dan Kepenuhan?”.

Alkemade sadar adanya kuasa defakto (wel rechtens te bewijzen is) Sultan Zainal Abidin yang bebas menetap atau mendirikan kerajaan dimanapun dia mau. Tiada satupun dokumen pernyataan dari raja-raja di Sungai Rokan menentang itu. Harus putar otak upaya menemukan peluang lain meghancurkan Sultan Zainal Abidin.

Alkemade menyatakan, pada usia tujuh tahun bergelar Tengku Muda, pada usia sebelas tahun bergelar Majo Lelo, dan usia limabelas tahun bergelar Sutan Zainal. Mengakui, takbal Sutan Zainal menjadi Duli Yang Dipertuan Tambusai Rantau Binuang dengan pembacaan siri oleh seorang imam. Datuk Bendahara melewakan takbal untuk disambut dengan ucapan “daulat tuanku” oleh bersebanyak orang dalam upacara tersebut. Sekaligus istri Sultan Zainal ‘Abidin ditakbal bergelar Raja Paduka Siti. Seluruh perangkat lembaga kerajaan diisi penuh, antara lain melewakan gelar dan jabatan bagi; Yang Dipertuan Muda, Tengku Maharaja, Sutan Mansur, Sutan Mahmud, Datuk Bendahara Sri Paduka Maharaja, Datuk Pekomo Raja, Orang Kaya Maharaja, Paduka Seri Maharaja, Paduka Majalela, Laksamana, bintara, panglima, panglima anak raja, hulubalang buan, hulubalang bertiga, hulubalang bertujuh, empat orang imam, tujuh orang bilal, sembilan orang khatib, dan seorang bergelar Sahbandar. Sayangnya, keterangan Alkemade mengenai jumlah dan gelar orang besar Tambusai ini tidak lengkap.

Disadari penuh bahwa wilayah kerajaan Tambusai di Rantau Binuang tiada terbatas. Ini jadi isu utama dalam konsilidasi menundukkan Sultan Zainal Abidin. Tiada guna merebut Rokan IV Koto, Kunto Darussalam, Kepenuhan dan Rambah yang posisinya hanyalah empat kerajaan yang patuh pada kedaulatan Tambusai (Dat hierbij wel eens meer als onderhoorig wordt beschouwd). Catatan akhir Alkemade di Rantau Binuang, adalah tentang mabuknya dia dalam khayal setelah mencium aroma tambang batu bara dan timah di hulu Rokan (aan welks bovenloop tin en steenkolen aanwezig moeten zijn.).

Kontrelir Quast dalam “Nopens Den Politieken Toestand in de Rokanstaatjes” (1905). Dialah orang yang menangkap Sultan Zainal Abidin (1904). Tidak berapa lama selepas itu, segera menunjuk penguasa baru Daludalu (1905) berikut pernyataan pengakuan berada di bawah kuasa Hindia Belanda. Setia kepada Ratu dan Gubernur Jendral Hindia Belanda. Sayangnya, kolonial harus berhadapan dengan pikiran cemerlang Sultan Zainal Abidin dan para raja-raja Tambusai di Daludalu dan Rantau Kasai. Apabila Quast berhasil menyelesaikan masalah di Rokan IV Koto, Kunto, Kepenuhan dan Rambah, ternyata Tambusai tetap berkemelut dimata kolonial namun menyatu dalam kesepakatan politik orang-orang Tambusai. Daludalu dan Rantau Kasai tidak dapat disatukan oleh Quast dalam satu kuasa pemerintahan yang sah. Sebelum membahas siasat politik Sultan Zainal Abidin, baik kita tilik beberapa poin penting pada teks verslag Quast.   

Dalam pengantarnya disebutkan bahwa kerajaan Sungai Rokan dikelilingi oleh batas-batas wilayah kekuasaan; 1)Lubuk Sikaping dan VI Koto Kampar bagian dari keresidenan Padang, 2)Padang Lawas dalam keresidenan Tapanuli, 3)Kubu; Bangko; Tanah Putih; Mandau serta Tapung Kiri-Kanan dalam kuasa Siak. Penjelasan ini dibuat untuk melihat model peta politik yang akan dipakai untuk menekan Sultan Zainal Abidin apabila disuatu ketika terjadi kemusykilan.

Quast memegang laporan resmi kolonial ddo. 7 Mei 1882 No. 14, Muara Sibaling, 3 September 1883, mengenai perselisihan batas wilayah Rokan IV Koto dengan Kunto Darussalam di Ujungbatu, serta perlu menuntaskan batas Siak dengan Kunto Darussalam yang belum jelas. Ada persoalan Rambah dengan Rokan IV Koto mengenai batas aliran Sungai Dua di Langkuik Singkek. Juga soal batas Rambah dengan Papaso (afdeling Padang Lawas) di Sungai Katogan.

Quast mengatakan, fakta batas-batas kerajaan Tambusai di Batang Sosah dan Batang Kumu dianggap jadi bukti bahwa Tambusai tidak berkuasa sama sekali terhadap empat kerajaan lainnya di Sungai Rokan (Het Tamboesaische gebied strekt zich dus niet nit tot do Rokan Kanan.). Tidak ada alasan bagi kerajaan-kerajaan yang bersempadan dengan Tambusai berada dalam kuasa Sultan Zainal Abidin Syah (dat de hoofden der aangrenzende landen zich er mede vereenigen kunnen.).

Padahal sepanjang sejarah Tambusai tidak pernah mengalami pertikaian sama sekali dengan Rambah dan Kepenuhan, bahkan di Rokan IV Koto dan Kunto Darussalam. Hanya saja pihak kolonial perlu menyebut Fakih Saleh biang keonaran, dan itu patut disebut berasal dari Tambusai, mewakili daulat Sultan Sungai Rokan itu. Hanya saja Quast terlanjur menyebut soal wilayah di hilir Sungai Rokan yang pada zaman dahulu masuk dalam kekuasaan Johor, kemudian diambil alih oleh Siak. Kisah ini dikenal dalam Terombo Sungai Rokan.

Keterangan menarik Quast adalah soal persekutuan adat negeri yang empat, yakni “seadat sepakaian” dalam Tambusai, Rambah, Koto Intan, dan Kunto Darussalam. Sedangkan Kepenuhan disebut dengan “lantar’. Diakui Quast bahwa Kepenuhan dan Tanah Putih memiliki kaitan hubungan seasal-usul. Hanya saja Quast tidak menjelaskan makna hubungan ‘lantar’ tersebut terkait kuasa kerajaan Tambusai, mungkin karena dianggap akan membahayakan.

Quast mengatakan bahwa setiap kali ada perselisihan dan peperangan maka dianggapnya umpama bir yang datang dalam penantian (Dit was de stand van zaken, dien ik bier aantrof.). Meski demikian, Lubuk Bendahara menjadi lawan bagi Quast. Berkali-kali dia direndahkan orang Lubuk. Quast memilih berkantor di Rokan IV Koto karena Yang Dipertuan Sakti memberi dukungan. Katanya; “berkantor di Rokan, memberi keyakinan untuk segera mengarahkan sayap kearah Rokan Kanan.” Tentu saja menuju pusat kekuasaan Sultan Zainal Abidin Syah di Tambusai. Ketakutan Quast pada orang-orang Tambusai sangat nyata, sebagaimana juga disebut oleh Moskowski.

Peta wilayah kerajaan Sungai Rokan dibuat pada 22 Januari 1904, diikuti pernyataan bahwa kontak langsung dengan Tambusai pada tahu 1904. Sebelum itu, quast menyatakan berulang kali ditolak masuk wilayah Tambusai oleh Daludalu dan Rantau Kasai, serta diabaikan oleh orang-orang Tambusai di hilir Rokan. Raja Rokan berhasil ditunjuk kolonial pada 24 Januari 1903, setelah keberangkatan raja di Lubuk Bendahara. Akhirnya tercapai deklarasi ketundukan Rokan IV Koto menyerah kepada Hindia Belanda pada 9 Januari 1905. Draf terlampir pada surat Sekretaris Pemerintah 8 November 1902 No. 3817, dan kataya ditandatangani oleh semua penghulu. Bahkan ada pula dokumen Rokan IV Koto menyerah pada Hindia Belanda tahun 1888. Juga berita kontak pertama raja Rokan 1878 dan 1879.

Di Koto Intan dan Kunto Darussalam, terjadi kekosongan pemerintah dan pembunuhan terhadap raja-raja oleh mereka yang bersaing untuk tahta. Quast sengaja memasukkan nama Diepenhorst yang pernah bertugas di Dalu-dalu sebagai inspektur, pasca jatuhnya benteng Tuanku Tambusai. Diepenhorst dikatakan pernah ikut campur dalam penunjukan raja Kunto bergelar Yang Dipertuan Jumadil Alam sebagai Yang Dipertuan Besar. Lagi-lagi Quast memanfaatkan peran sejarah keterlibatan perang Padri di Daludalu sebagai bahan baku utama untuk mengarang bebas. Persoalan Kunto Darussalam dan Rokan IV Koto hampir mirip. Quast berlaku seumpama dewa bagi orang-orang Melayu yang dianggap mampu mengurai persoalan kerajaan-kerajaan lima luhak Sungai Rokan agar berada di bawah satu kepemimpinan raja berdaulat (zelfbestuur). Tidak terpecah-pecah dan tentu saja untuk mudah diatur oleh Hindia Belanda. Kesepakatan raja untuk tujuan kolonialisme dan penjajahan politis tanpa kekerasan, berselubung jubah kelembutan semu yang menipu.

Untuk Rambah, awalnya Quast tidak menemukan adanya perpecahan, melainkan melihat struktur kuasa empat raja yang absolut di Rambah menjadi ancaman bagi kolonial, yakni; Yang Dipertuan Besar, Yang Dipertuan Sakti, Yang Dipertuan Jumadil ‘Alam, dan Yang Dipertuan Muda. Sarannya, soal tiga kuasa raja tersebut tidak perlu dipikirkan, sebab mereka pernah mengalami perpecahan sekitar 16 tahun lalu dalam insiden serangan Raja Ahmad Lubuk Bendahara ke Rambah. Quast merasa bahagia terlibat menyelesaikan perselisihan dalam keluarga raja Rambah dengan berbagai pihak, termasuk Kunto dan orang-orang Napitu Huta Rambah (Mandahiling Rambah). Disebut sebagai kesuksesan dan keberuntungannya (Het tijdstip was in alle opzichten gunstig om met succes te kunnen optreden.) Quast rajin mengangkat soal pembangunan infrastruktur dan penciptaan kedamaian di Rambah. Rakyat Rambah diumbuk umbai dengan pembangunan jalan, pasenggrahan, perkebuan, peternakan, bisnis dagang, dll. Setelah meninggalkan Rokan IV Koto, maka posisi Rambah menjadi lebih penting sebab semakin dekat menuju Tambusai. Ibarat makan bubur panas dari tepi.

Quast menyatakan, pertengahan awal tahun 1904 Zainal Abidin Syah datang ke Sungai Rokan, melakukan siasat penuh teka teki sehingga dikhawatirkan mempengaruhi kesetiaan raja Rambah pada kolonial Belanda (Gedurende de eerste belft van 1904 werd door van nit Rantau Kasai door den zich noemenden Radja op touwgezette intriges getracbt, de trouw en het geloof aan de eerlijke bedoelingen van het bestuur bij een deel der Rambahsche hoofden aan het wankelen te brengen.).

Kita masuk ke pembahasan yang juga dianggap penting. Quast menyatakan, kedatangan Fakih Saleh menimbulkan ketakutan. Meyebabkan sultan dan rakyat Tambusai pindah ke Bilah, Panai. Quast sepenuhnya tekun belajar dari laporan Alkemade dan dokumen rahasia kolonial lainnya tentang Sungai Rokan. Sayangnya, tidak ada fakta lisan maupun tertulis yang absah menyatakan bahwa Fakih Saleh mengambil alih pusat pemerintahan Tambusai. Kepergian Sultan Tambusai keluar wilayah kerajaannya, adalah bagian dari siasat politis antara Fakih Saleh dan raja Tambusai itu.

Kembali, Quast melibatkan nama Diepenhorst paska dia ditarik dari Tambusai tahun 1843. Tambusai pernah diserahkan kepada Sutan Guru, penghulu Mandahiling Hulu. Sejak itu tumbuh pemukiman orang-orang Mandahiling Mondang Kumango, Mondang Bangkinang dan Mondang Manggis. Quast coba mengarang cerita permusuhan orang-orang Tambusai dibawah komando Tengku Haji Muhammad Sutan dengan pihak Mandahiling Sosa terjadi disebabkan dendam sakit hati orang Tambusai kepada Fakih Saleh dan kaum padri. Perang Mondang Kumango yang disudahi tuntas oleh Haji Muhammad Sutan menghancurkan harapan kolonial Hindia Belanda menguasai Tambusai lewat orang Mandahiling dibawah pengaruh penguasa kolonial Padang Lawas.

Sultan Abdul Wahid pernah mengirim utusan menemui Gubernur Jenderal Lansberge pada tanggal 20 Februari 1877. Isi pertemuan dan pembicaraan tidak diketahui. Terjadi saling unjuk beri hadiah. Gubernur Jendral meanugerahkan senapan Belanda berukir pada Sultan Abdul Wahid. Ini menjadi semacam gertakan peringatan perang dari pihak kolonial Belanda. Sayangnya, tidak ada laporan detail dari Quast mengenai hal ini.

Sekitar dua atau tiga tahun setelah itu, Sultan Abdul Wahid wafat. Digantikan putera sulungnya Muhammad Shaleh Ro’is. Namun, segera menyerahkan tahta kepada adiknya Muhammad Zain, dan naik takbal dengan gelar Duli Yang Dipertuan Muhammad Zainal ‘Abidin Syah. Quast kembali membuat pernyataan bahwa inilah orang yang menyebabkan rakyat Tambusai menderita (Met zijn optreden begon voor de Tamboesaiers eene nieuwe lijdensgeschiedenis.). Sultan Muhammad Zainal ‘Abidin disebutnya batu api perselisihan antara Rantau Binuang dengan Kepenuhan dan Tanah Putih. Menurut Quast, Sultan Zainal Abidin mengklaim kekuasaannya mutlak di sepanjang aliran Sungai Rokan.

Fakta perselisihan Rantau Binuang hanya terjadi dengan Penghulu Tanah Putih Sejak 1883 - 1885, bukan dengan Kepenuhan. Quast tidak menjelaskan sebab pindahnya Rantau Binuang ke Negeri Tinggi (wilayah Tanah Putih) karena Krakatau meletus 26 Agustus 1883, disebut dengan istilah Lampung Pecah. Quast mengatakan bahwa kepindahan itu sebab saran beberapa orang beriman. Penghulu Tanah Putih dan Rantau Binuang mengadukan persoalan batas wilayah Rantau Binuang ke Bengkalis. Keputusan residen Bengkalis bersama Gubernur Sumatera Timur di Deli tidak memuaskan. Sultan Zainal Abidin berangkat ke Batavia pada 12 Januari 1885, menandatangani pernyataan tertulis kepada Direktur Administrasi Dalam Negri, sekaligus mengadukan keputusan yang tersebut di atas. Kolonial mengisyaratkan kepada penghulu Tanah Putih untuk membiarkan pembangunan Negeri Tinggi dengan syarat Sultan Zainal Abidin membayar ganti rugi pertahun. Sultan Zainal Abidin mengabaikan soal pembayaran itu hingga masuk tahun 1888.

Sultan Zainal Abidin tidak lagi menetap di Negeri Tinggi sejak 1885. Tiba-tiba muncul di Sungai Rokan dan Tanah Putih pada 1897 menyelesaikan persoalan yang dialami orang-orang Tambusai di hilir Rokan yang tetap setia kepadanya. Terjadilah isiden hukuman mati kepada Rang Kayo Mat Dago di Sitong. Akhirnya pengadilan kerapatan Siak memutuskan hukuman larangan menetap/singgah bagi Sultan Zainal ‘Abidin di wilayah perbatasan Siak. Apabila dilanggar, akan ditahan dan kekuasaannya mansuh. Surat keputusan ddo. 1 Maret 1897 yang juga ditandatangani oleh mantan residen Kooreman. Betapa anehnya, seorang mantan residen terlibat mengambil keputusan hukum. Mengapa tidak melibatkan pejabat residen aktif? Nampak jelas bahwa kolonial harus berhati-hati menghadapi Sultan Zainal Abidin. Ancaman memansuhkan kuasa seorang Sultan cukup hanya dengan cara ditangkap, telah membuktikan politik kolonial sangat lemah. Tidak ada cara lain, apa boleh buat.

Setelah mendapat pelarangan, Sultan Zainal Abidin kembali ke Perak lewat Bagan Siapiapi. Beliau melewati wilayah jajahan Siak dengan aman tanpa harus sembunyi mengendap-edap layaknya residivis. Quast membela diri dengan mengatakan bahwa Sultan Zainal Abidin yang memohon agar diberi jalan untuk sekadar keluar dari Sungai Rokan lewat Bagan Siapiapi.

Tidak lama kemudian, Sultan Zainal Abidin mengambil jalan politis yang teramat sangat merisaukan pemerintah kolonial Belanda. Quast sama sekali tidak menyinggung soal surat Sultan Zainal Abidin yang ditujukan kepada wazir Sultan Turki, diserahkan langsung kepada komandan kapal perang Osman Pasha pada tahun 1889. Akan tetapi segera diketahui kehadiran Quast di Sungai Rokan untuk mengantisipasi isi surat Sultan Zainal Abidin yang mengandung siasat politik brilian yang tidak dikenal sebelumnya oleh sultan-sultan Melayu di tanah air.

Tulisan singkat ini bersempena dengan upaya penyusunan kembali usulan pengangkatan Maulana Sultan Zainal Abidin Syah Johan Berdaulat Ismunnashor Manshur ‘Aladdin Afrotul Hayat. Presentasi dilakukan di Lembaga Kerapatan Adat Tambusai Daludalu, 25 Desember 2021 dihadapan Zulman, S.Sos. gelar Datuk Bendahara, Tengku Abdurrahim, S.Pdi. gelar Tengku Saidina Mukammil, Salaman Alfaridi S.Ag. gelar Sutan Mahmud, Tengku Darmizal gelar Sultan Ahmad, Herman gelar Rajo Bebeh, Mukti Ali gelar Gemalo Rokan, dan Yuharman, S.E., gelar Urang Kayo Bijak. Pekerjaan penelitian telah dilakukan lebih kurang 2 tahun terakhir. Antara lain; 1)Manuskrip surat Sultan Zainal Abidin Syah kepada wazir sultan Turki (1889). Fokus kajian; identifikasi teks Jawi (Arab Melayu) pada naskah surat SZA yang spenuhnya belum terbaca sampai sekarang. Kajian ini menggunakan studi struktur visual. (Hasilnya 100 % terbaca). 2)Komparasi konten dokumen surat-surat raja-raja Melayu yang dikirim kepada Sultan Turki Utsmani (1824–1905) dan dokumen Belanda (1889-1916) untuk mengetahui informasi mengenai Sultan Zainal Abidin Syah. Fokus kajian; melihat pola intlektual politik Sultan Zainal Abidin Syah menghadapi kolonial Belanda. Kajian Siasat politik Zainal Abidin Syah menghadapi okupasi Kolonial Belanda di Sungai Rokan. 3)Manuskrip surat-surat dan cap Sultan Zainal Abidin Syah di Tambusai Rantau Kasai. Fokus kajian; informasi mengenai identitas, posisi dan keberadaan Sultan Zainal Abidin Syah di Tambusai dan Sungai Rokan. 4)Sejarah Siri dan Teromba Tambusai. Fokus kajian; melihat fakta kuasa raja Tambusai di Sungai Rokan untuk membuktikan keabsahan Tambusai dan Rokan berdaulat penuh hingga kemerdekaan RI 1945. 5)Makam Mbah Kabul desa Dagangan, Jawa Timur; antara fakta dan dugaan makam serta mengungkap fakta wafatnya Zainal Abidin Syah.

Resume usulan Sultan Zainal Abidin sebagai Pahlawan Nasional harusnya segera diseminarkan. Perlu komunikasi dan bekerjasama dengan pemerintah daerah Rokan Hulu serta pemerintah propinsi Riau. Tulisan ini dapat terbit berkat saran dan bantuan kepala Dinas Kominfo Rokan Hulu.  (MCDiskominforohul/Junaidi-Syam, ) 2021.

 

 

 


Privacy : Untuk Mengutip Segala Artikel Yang ada Website Resmi Media Center Rokan Hulu Diharapkan Untuk Mencantumkan Link Sumber. Terimakasih

Post Terkait

Comments